Resah,
bingung, tidak enak makan, tidak bisa tidur, mengajar tidak fokus, bahkan tidak
sedikit yang berobat karena tiba-tiba penyakitnya kambuh. Lebih tidak rasional
sampai meminta bantuan para normal agar bisa lulus Uji Kompetensi Guru (UKG).
Tidak
seperti biasanya pemandangan di kantor guru. Mereka rajin membaca buku-buku
materi pelajaran sesuai bidangnya. Setumpuk kertas soal-soal di meja kantor
untuk dibagi-bagikan kepada guru yang akan mengikuti UKG. Terlihat guru-guru
sangat serius mensikapi UKG ini, namun bertolak belakang dengan keadaan di
kelas. Guru sibuk belajar di kantor dan siswanya terlantar karena tidak ada
guru yang mengajar.
Menghujat,
menghina bahkan menentang program pemerintah yang ingin melakukan pemetakan
guru. Tidak mau diuji dan takut diketahui kompetensinya. Mereka tidak terima
diuji karena sudah merasa hebat, pintar, profesional dan superior. “Bagaikan
Katak dalam tempurung,” ujar Bento.
Saatnya
berangkat menuju tempat UKG, semua saudara, teman, kolega bahkan siswanya
dimintai do’anya sambil bersalaman layaknya prajurit mau maju ke medan perang. saatnya
pulang disambut koleganya bagaikan jamaah yang baru pulang dari naik haji,
tetapi yang ini raut muka terlihat sedih, kecewa, kusam dan merah padam. “Pasti
nilainya jelek,” guman Bento.
UKG
pertama telah dilaksanakan Tahun 2013. Pemerintah menetapkan Standard Kelulusan
Minimal 47. UKG pertama ini hasilnya sangat memprihatinkan, karena nilai
rata-rata Nasional hanya 42. Kemudian pemerintah melakukan pembinaan, pendidikan
dan latihan bagi guru yang nilainya dibawah Standard Kelulusan Minimal (SKM).
Pada
bulan Nopember Tahun 2015 dilaksanakan lagi UKG kedua secara serentak seluruh Indonesia.
Kali ini pemerintah menetapkan SKM 55. Harapan pemerintah ada peningkatan
kompetensi yang dimiliki guru. Sosialisasi sudah dilakukan jauh-jauh hari.
Dibeberapa daerah diadakan pembinaan, pendidikan, pelatihan dengan menghadirkan
pakar-pakar pendidikan, tetapi hasilnya tak jauh berbeda dengan UKG pertama.
Dimana
hebatnya? Seberapa pintarnya? Sejauhmana keprofesionalannya? Dengan berbagai
alasan menyeruak ditengah-tengah perbincangan dikantor guru. Resah, kecewa,
malu terlihat dari raut muka para guru. Ketakutan menggelayuti guru-guru
profesional kehilangan tunjangan sertifikasi, karena UKG yang telah
dilaksanakan hasilnya sangat memalukan.
“Dapat
nilai berapa?” tanya Bento.
“Dikit,”
Jawab Caciem.
“Dikit
tu berapa?” kejar Bento.
“Ah….malu,”
gerutu Caciem.
“Jangan
begitu, Aku dapat nilai 35,” ungkap Bento.
“Ha
ha ha…aku dapat 37,” terang Caciem.
“Pak
kepala sekolah dapat berapa?” tanya Bento.
“Katanya
dapat 25,” jelas Caciem.
“Hah…lumayan…,”
guman Bento.
“Ya
inilah guru profesional,” gerutu Caciem.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.