16 Desember 2015

Permufakatan Jahat Dalam Pendidikan



Walaupun sudah berlangsung cukup lama, perbuatan beberapa anak laki-laki tidak terendus oleh gurunya apalagi aparat penegak hukum. Hampir seminggu sekali Jalidin bersama temen-temennya berhasil meraup pundi-pundi rupiah hasil kejahatan yang dilakukan di sekolahan.

Jalidin Cs. setiap hari membuat rencana melakukan pemalakan terhadap teman-teman sekolahnya. Pemalakan dilakukan dengan berbagai ancaman, sehingga korban terpaksa  memberi uang dan takut melapor pada yang berwenang dalam hal ini gurunya.

Setelah Jalidin Cs. menduduki kelas tiga, barulah kejahatannya itu  terdeteksi, inipun berkat laporan anak yang tidak menjadi korban. Puluhan anak yang pernah menjadi korban tak mau bicara karena takut dengan ancaman Jalidin dan yang berwenangpun ikut-ikutan tutup mulut.

Hasil invesigasi bahwa Jalidin melakukan pemalakan sejak kelas 1 hingga kelas 3. Menurut pengakuannya, setiap siswa yang dijadikan korban rata-rata memberi uang Rp 5000. Pundi-pundi rupiah terkumpul mencapai Rp 950.000. Uang tersebut dipakai foya-foya Jalidin bersama teman-temannya. Untuk membeli jajanan di kantin, beli rokok dan minuman keras.

“Kenapa setelah dua tahun lebih pihak berwenang baru tahu?” tanya Bento.
Begitu beratnya tuntutan nilai akademik, begitu sibuknya mengajar tuntutan tunjangan sertifikasi, begitu riuhnya suasana pemandangan rebutan jam mengajar, begitu capeknya mengajar 24 jam tatap muka, begitu banyaknya guru datang terlambat, begitu banyaknya guru membolos dan begitu kejamnya anak-anak diterlantarkan di sekolahan. “Sehingga tuntutan nilai-nilai pendidikan karakter terabaikan,” tegas Caciem.

Pemalakan yang dilakukan Jalidin hanyalah sebagian kecil kejahatan yang terjadi disekolahan. Kejahatan yang lebih besar banyak terjadi bahkan sudah membudaya dikalangan dunia pendidikan. Nilai transaksi kejahatan bisa puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Permufakatan jahat ini bukan lagi rahasia tetapi sudah menjadi kebutuhan hidup  bagi sebagian orang yang ingin mendudukki jabatan, ingin menjual kertas, ingin menjual alat-alat tulis, ingin menjual atribut, ingin menambah jam pelajaran, ingin menjual nilai dan akhirnya menjual harga diri.

Loyalitas semu, disiplin kuli, martabat tempe, kantor bromocorah. Pendidikan tak lagi mendidik karakter tetapi layaknya pasar swalayan. Semua dilakukan dengan transaksi untuk mengumpulkan pundit-pundi rupiah. Konsep pendidikan tanpa arah, hanya mementingkan pencitraan. Asal mengajar, asal bisa setor upeti, asal bapak senang dan asal-asalan.

“Bapak asalnya siapa?” tanya Bento.
“Asalnya dari anak-anak,” jawab Caciem.
“Yang asal jualan?” kejar Bento.
“Banyak,” tegas Caciem.
“Kok kayak pasar swalayan?” Bento penasaran.
“Yang ada pemalakan,” terang Caciem.
“Emang bener-bener ada?” tanya Bento.
“Ya…itu fatamorgana?” Caciem berdalih.
“Kok begitu?” sanggah Bento.
“Eh…fakta durjana,” jelas Caciem.
“Ah…asal ngomong aja,” guman Bento.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentarlah sebagai tanda persahabatan.

 

Buku Murah

Masukkan Code ini K1-BE118B-2 untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Recent Post