Walaupun
sudah berlangsung cukup lama, perbuatan beberapa anak laki-laki tidak terendus
oleh gurunya apalagi aparat penegak hukum. Hampir seminggu sekali Jalidin
bersama temen-temennya berhasil meraup pundi-pundi rupiah hasil kejahatan yang
dilakukan di sekolahan.
Jalidin
Cs. setiap hari membuat rencana melakukan pemalakan terhadap teman-teman
sekolahnya. Pemalakan dilakukan dengan berbagai ancaman, sehingga korban
terpaksa memberi uang dan takut melapor
pada yang berwenang dalam hal ini gurunya.
Setelah
Jalidin Cs. menduduki kelas tiga, barulah kejahatannya itu terdeteksi, inipun berkat laporan anak yang
tidak menjadi korban. Puluhan anak yang pernah menjadi korban tak mau bicara
karena takut dengan ancaman Jalidin dan yang berwenangpun ikut-ikutan tutup
mulut.
Hasil
invesigasi bahwa Jalidin melakukan pemalakan sejak kelas 1 hingga kelas 3.
Menurut pengakuannya, setiap siswa yang dijadikan korban rata-rata memberi uang
Rp 5000. Pundi-pundi rupiah terkumpul mencapai Rp 950.000. Uang tersebut
dipakai foya-foya Jalidin bersama teman-temannya. Untuk membeli jajanan di
kantin, beli rokok dan minuman keras.
“Kenapa
setelah dua tahun lebih pihak berwenang baru tahu?” tanya Bento.
Begitu
beratnya tuntutan nilai akademik, begitu sibuknya mengajar tuntutan tunjangan
sertifikasi, begitu riuhnya suasana pemandangan rebutan jam mengajar, begitu
capeknya mengajar 24 jam tatap muka, begitu banyaknya guru datang terlambat, begitu
banyaknya guru membolos dan begitu kejamnya anak-anak diterlantarkan di
sekolahan. “Sehingga tuntutan nilai-nilai pendidikan karakter terabaikan,”
tegas Caciem.
Pemalakan
yang dilakukan Jalidin hanyalah sebagian kecil kejahatan yang terjadi disekolahan.
Kejahatan yang lebih besar banyak terjadi bahkan sudah membudaya dikalangan
dunia pendidikan. Nilai transaksi kejahatan bisa puluhan juta bahkan ratusan
juta rupiah. Permufakatan jahat ini bukan lagi rahasia tetapi sudah menjadi
kebutuhan hidup bagi sebagian orang yang
ingin mendudukki jabatan, ingin menjual kertas, ingin menjual alat-alat tulis,
ingin menjual atribut, ingin menambah jam pelajaran, ingin menjual nilai dan
akhirnya menjual harga diri.
Loyalitas
semu, disiplin kuli, martabat tempe,
kantor bromocorah. Pendidikan tak lagi mendidik karakter tetapi layaknya pasar
swalayan. Semua dilakukan dengan transaksi untuk mengumpulkan pundit-pundi
rupiah. Konsep pendidikan tanpa arah, hanya mementingkan pencitraan. Asal
mengajar, asal bisa setor upeti, asal bapak senang dan asal-asalan.
“Bapak asalnya siapa?”
tanya Bento.
“Asalnya dari anak-anak,”
jawab Caciem.
“Yang asal jualan?” kejar
Bento.
“Banyak,” tegas Caciem.
“Kok kayak pasar
swalayan?” Bento penasaran.
“Yang ada pemalakan,”
terang Caciem.
“Emang bener-bener ada?”
tanya Bento.
“Ya…itu fatamorgana?”
Caciem berdalih.
“Kok begitu?” sanggah
Bento.
“Eh…fakta durjana,” jelas
Caciem.
“Ah…asal ngomong aja,”
guman Bento.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.