Walaupun
satu-satunya pemain perempuan, Lintang tak mau ketinggalan ikut menendang bola.
Kesana-kemari adikku bermain sambil makan snack dengan kemasan plastik. Setelah
makanan habis, Lintang tetap mengejar bola sambil teriak-teriak “Mas plastiknya
dibuang dimana?”. Sepak Bola tetap dijalani sambil memegang plastik bekas
bungkus snack yang sudah kosong, adikku teriak lagi “Mas, bak sampahnya mana?”.
Tak satupun temannya peduli bahkan beberapa orang tua yang ikut menyaksikan
melahan mentertawakan, menganggap Lintang anak yang tolol.
Waktu
menjelang maghrib semua anak-anak pulang kerumah masing-masing. Plastik dibawa
pulang, sampai dirumah Lintang marah-marah karena ditempat bermain tidak ada
bak sampah. Kemudian oleh ibunya, agar sampah dibuang di bak sampah milik
Lintang sendiri.
Hampir
empat kali dalam seminggu, Caciem menemani siswanya latihan band. Setiap kali
latihan Caciem selalu membawa bekal kecil-kecilan berupa permen. Distudio
Caciem sering membuka bungkus permen, bungkusnya dimasukan ke saku celana dan
permen masuk ke mulut, karena didalam studio tidak disediakan bak sampah. Kejadian
ini dilihat siswa-siswanya, tetapi mereka malah mentertawakan dan menganggap
Caciem sedang gila.
Dalam
pendakianku bersama teman-teman ke Gunung Merapi 13 Juni 2013, aku berpapasan
dengan pendaki muda. Rombonganku baru mancapai puncak tetapi pemuda tersebut
sudah mulai turun. Aku terpesona melihat pemuda itu, karena disebelah tas punggungnya
terselip kantong plastik yang berisi sampah plastik. Kusapa, kuhentikan,
kupotret sebagai bukti bahwa masih ada orang yang peduli dengan sampah.
Belajar
dari kebiasaan Lintang, Caciem dan pemuda pendaki gunung tidaklah sulit, kalau
bangsa ini mau dan punya kesadaran. Tetapi, dibeberapa sudut kantor sampah
berserakan, langit-langit kantor penuh dengan jaring laba-laba, kamar kecil
baunya menyengat, got tersumbat plastik, diatas meja tertinggal sampah, diatas
tutup bak sampah melimpah, tempat jajanan jorok, laci meja tersimpan sisa
makanan, tempat wudlu sarang gelas plastik, jendela sebagai lalu-lintas sampah,
tongkat pramuka terbengkelai, plastik berceceran ditaman, kebun jadi lautan
sampah.
Berkonsep,
berdiskusi, berbicara, berkeluh, berpesan, berceramah, berujar, berkoar, itu
hanya salah satu usaha untuk menyindir kesadaran. Senyum sinis memperlihatkan
sikap pesimistis terhadap konsep yang belum pernah terwujud. Tidak disadari
bahwa setiap musim penghujan banyak penghuninya yang menderita sakit. Ironi
bagi institusi yang menjadi percontohan masyarakat.
“Lha
nyatanya gimana?” tanya Bento.
“Omong
kosong,” jawab Caciem singkat.
“Harusnya
kerja nyata dong?” ungkap Bento.
“Omong
kosong,” guman Caciem.
“Beri
contoh yang benar,” terang Bento.
“Omong
kosong,” jawab Caciem.
“Kan kaum professional,”
tambah Bento.
“Omong
kosong,” tegas caciem.
“Jawabmu
kok omong kosong terus?” tanya Bento.
“Cas
cis cus…,” gerutu Caciem.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.