Diusia
yang baru sepuluh tahun pada era 1945, Sadinem sudah malang
melintang diberbagai kota Jawa-tengah,
Jawa-Timur dan Yogyakarta. Dengan menumpang
kereta barang, perempuan tersebut tak pernah punya rasa kuatir dalam membantu
kedua orang tuanya yang membuka warung kecil-kecilan di rumah. Ke Jogja belanja
sembako, ke Solo belanja batik, ke Purwokerto jualan telor asin, ke semarang belanja bumbu dapur dan ke Surabaya belanja kain.
Wanita
yang buta huruf tersebut bekerja dengan ihklas demi ketiga adik-adiknya bisa
bersekolah. Satu-satunya adik laki-laki telah menjadi dosen di IKIP Yogyakarta
yang sekarang bernama UNY (Universitas Negeri Yogyakarta).
Setelah
menikah dengan Bakri mempunyai anak tujuh, empat laki-laki dan tiga perempuan.
Ketujuh anaknya semua disekolahkan dan empat diantaranya menyandang gelar
sarjana. Walaupun belum pernah mengenyam pendidikan, wanita yang bersuamikan
petani tersebut ingin melepaskan diri dari lingkungan yang masih terbelakang.
Sadinem bercita-cita agar semua anaknya bisa bersekolah setingi-tingginya dan memjadi
pekerja kantoran.
Di
usianya yang sudah setengah abad lebih, Sadinem makin rajin ibadah, setiap habis
sholat tak lupa selalu berdoa agar dirinya mati khusnul chotimah tanpa melalui
sakit yang berkepanjangan. Wanita yang mempunyai cucu dua belas dan cicit tiga
tersebut, tidak ingin mati yang didahului dengan menderita sakit berkepanjangan,
karena hanya akan merepotkan orang lain. Lebih baik mati mendadak dari pada sakit
berlama-lama baru kemudian mati.
Sepanjang
hidupnya Sadinem mencurahkan segala kemampuannya tanpa pamrih demi kebahagiaan
kedua orang tuanya, adiknya-adiknya dan semua anaknya. Wanita kampung ini
bagaikan matahari menyinari dunia, seperti syair dalam lagu : “Kasih Ibu kepada
beta/tak terhingga sepanjang masa/harap memberi tak harap kembali/bagaikan
surya menyinari dunia”.
Senin
Pahing 15 Nopember 2010 pukul 05.00 Wib. sehabis sholat Subuh terjatuh di depan
pintu dapur, dan hari itu juga Sadinem meninggal pukul 13.00 Wib. di RSI
Klaten. Do’a Mbokku terkabul karena meninggal tanpa mengalami sakit yang
berkepanjangan alias mati mendadak.
Walaupun
tidak ada mandor, walaupun tidak dijaga pengawas, walaupun penghasilan kecil,
walaupun sangat capek, walaupun murid-murid tidak berani protes mestinya
berkeja dengan sungguh-sungguh dan ikhlas sepenuh hati.
“Emang
ada yang kerjanya main-main?’ tanya Bento.
“Buaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaanyak,”
jawab Caciem.
“Ngajarnya
gimana ?” kejar Bento.
“Siswa
di kasih tugas, tinggal pergi,” jelas Caciem.
“Terus
gimana lagi?” tanya Bento.
“Masuk
selalu terlambat,” terang Caciem.
“Weh...ngajarnya
ngawur itu,” ungkap Bento.
“Sudah
membudaya,” tambah Caciem.
“Itu
tidak professional namanya,” guman Bento.
“Dari
dulu,” tegas Caciem.
“Kan pehlawan tanpa tanda
jasa,” ujar Bento.
“Pahlawan
Cas cis cus….,” gerutu Caciem.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.