Peristiwa
itu sangat sulit aku lupakan walaupun sudah puluhan tahun terjadi, namun tak
satupun teman sekolahku yang kuingat sampai sekarang. Tahun 1978 tepatnya aku
duduk di kelas empat SD Negeri 2 Krakitan. Waktu itu pukul tujuh lebih tiga
puluh menit, di kelas aku selalu bercanda bersama teman-teman sambil menunggu
datangnya guru mengajar jam pertama.
Tiba-tiba
aku dan teman-teman terkesima dengan kedatangan guru yang belum dikenal sebelumnya.
Sosok yang asing bagiku, kumis tebal, kulit hitam, rambut sedikit gondrong, sorot
matanya tajam dan kurasa cukup angker.
Setelah berada didepan kelas, guru baru tersebut memulai pelajaran dengan basa-basi
bertanya “Iki kelas papat yo?”.
Tanpa sedikitpun takut aku jawab spontan “Wis ngerti we takon”.
Mendengar
jawabanku tersebut, semua temanku tertawa serentak sambil menoleh kearahku. Tak
kusangka sebelumnya, guruku naik pitam dan membentak “Sopo sing ngomong mau?”.. Namun semua temanku terdiam, tak ada
yang berani menyebutkan namaku. Selanjutnya guruku mendatangi teman-teman
perempuan dan bertanya lagi dengan nada suara yang lebih keras “Jawab…sopo sing ngomong mau?’.
Akhirnya salah satu temanku menjawa dengan sedikit gemetar “Caciem Pak”. “Mana Caciem”, kejar guruku. “Itu Pak duduk paling belakang”, jelas Poniyem sambil menunjuk
kearahku.
Dengan
amarahnya, guru tersebut mendekatiku dan bertanya “Anak’e sopo kowe”. Dengan gemetaran aku jawab “Anak’e Simbok Pak”. Mendengar jawabanku, guruku makin terbakar
emosinya, merah padam mukanya, melotot matanya, njegrak kumisnya dan
mengayunkan tangan kanannya dua kali PLAK-PLAK. “Em…..mukaku kena pukul dua kali”. Kemudian tidak jadi
memperkenalkan diri, tidak jadi mengajar dan guruku meninggalkan kelas tanpa cas
cis cus.
Seketika
guruku pergi, serentak temanku bersorak “Waaaa…Caciem
hebat, Caciem… jagoan”. Teman-teman mengelu-elukan, karena aku dianggap
pahlawan yang berhasil mengusir guru yang berwatak congkak, angker, sombong,
galak, kiler. Hari-hari berikutnya sampai aku lulus Sekolah Dasar sebagai juara
pertama, guru tersebut tidak mau lagi mengajar kelasku.
Setelah
aku renungkan, akulah yang salah, aku tidak sopan, berani melawan guru dan
konyol. Mestinya guru itu di tiru, di gugu dan dihormati dengan sepenuh hati,
karena yang memberikan segala sumber
ilmu pengetahuan dan pendidikan budi pekerti luhur.
Tetapi
tidak sepenuhnya aku salah, sebab karakter guru banyak yang kurang baik. Dari
awal mengajar sampai akhir jam pelajaran selalu pasang badan. Tak satupun guru
yang mau mengakui suatu kesalahannya. Siswa bagaikan musuh selalu dipihak yang
salah dan guru menganggap dirinya selalu yang paling benar bagaikan raja.
“Siapa
nama gurumu itu?” tanya Bento.
“Pak
Suyono,” jawab Caciem.
“Apakah
sekarang masih ada guru yang congkak seperti itu?” tanya Bento.
“Banyak
banget,” tegas Caciem.
“Angker,
galak atau sombong?” kejar Bento.
“Waaaaah………komplit,”
jelas Caciem.
“Muridnya
ketakutan?” ujar Bento.
“Waaaaah….Cas
cis cus,” guman Caciem.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.