Sepulang
ibunya dari pasar, Minem dikasih sepuluh permen untuk dibagi rata dengan
adiknya. Tanpa sepengetahuan ibunya, adik Minem dikasih tiga permen. Jiman adik
Minem mengucapkan banyak terimakasih kepada kakaknya yang telah berbaik hati
memberi permen. Malam menjelang tidur, Jiman menceritakan kejadian tersebut
kepada ibunya. Painem ibu Jiman terperanjat mendengarnya. Namun Painem hanya
mengelus dada mengetahui sikap Minem. Minem yang dulu masih SD berbeda sikapnya
dengan Minem yang sekarang sudah SMP.
Di
pagi harinya Painem sudah didatangi tukang pos. Surat yang dikirim dari kampus tersebut
menerangkan bahwa anaknya yang sulung diskors karena pesta narkoba di tempat
kos. Painem hanya bisa menghela nafas, karena uang yang dia kirimkan bukan
untuk kegiatan kuliah. Ditipu, dibohongi oleh anaknya sendiri yang sejak kecil
dia banggakan karena kejujurannya.
Painem
merasa gagal dalam mendidik anaknya dalam hal kejujuran. Makin tinggi
pendidikannya, makin menipis kejujurannya. Gerutu perempuan paruh baya itu tak
terbendung dan menangis sejadi-jadinya. Tidur tidak pulas, makan tak merasa
enak, badan Painem makin hari makin kurus digerogoti penyakit.
Sambil
makan malam Painem menceritakan tingkah laku anaknya kepada Jiran suaminya. Tak
sepatah katapun keluar dari mulut Jiran, namun mulutnya dimasuki makanan terus
menerus sampai nasi di piring habis. Dalam hati Jiran “apa yang harus kuperbuat”.
Setelah kenyang, lelaki tua itu menuju kamar dan tidur. Ibu tiga anak itu
ngomong terus-menerus disamping suaminya. Mau protes kemana, mau mengadu kepada
siapa, mau minta pertanggungjawaban lembaga mana, hanya bisa pasrah sambil
merenungi sikap anak-anaknya.
Painem
berguman “seperti apa pendidikan itu, apa yang diajarkan di sekolahan,
bagaimana pembelajarannya, siapa gurunya, siapa menterinya, kayak apa
kurikulumnya, mengapa anak-anakku menjadi pendusta.”
“Mungkin
gurunya, tidak professional, tidak mengajarkan moral, suka berbohong, makan
gaji haram, suka memanipulasi jadwal mengajar, sering memanipulasi daftar
hadir, biasa memanipulasi nilai siswanya, ijasahnya palsu, sertifikatnya palsu,
karya penelitiannya palsu, tidak sportif, tidak konsisten, tidak disiplin,
kalau ujian mencontek, membuat laporan fiktif atau masa bodoh dengan perilaku
siswanya,” tambah Painem.
Ibu
tiga anak itu tiba-tiba pingsan setelah membaca surat yang dia temukan di saku baju suaminya.
Isi surat
tersebut menjelaskan bahwa suaminya diberhentikan dari tempat kerjanya karena
gelar sarjana yang disandangnya palsu. Jiran tidak pernah ikut kuliah, tidak
pernah ikut ujian, tidak pernah bikin skripsi tetapi tiba-tiba mendapat
undangan wisuda sarjana dan bergelar Sanjana Pendidikan.
“Hem…sulit
dicari akar masalahnya,” ungkap Bento.
“Kata
siapa,” cecar Caciem.
“Lha
dimana akar masalahnya?” kejar Bento.
“Di
sekolahan,” jawab Caciem.
“Em…Cas
cis cus,” guman bento.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.