Empat
tahun lalu aku pelihara Tombro dan Gurame dalam kolam yang yang cukup luas,
karena waktu itu Tombro dan Gurame masih sebesar kelingking balita. Ikan
tersebut dapat beli di emperan toko-toko modern kawasan jalan pemuda Klaten. Kini
telah tumbuh besar dengan berat tidak kurang dari dua setengah kilogram.
Kelihatan ukuran kolam makin sempit, padahal tidak berubah, tetapi penghuninya
yang makin besar hingga gerak-geriknya terasa makin terkekang.
Walaupun
begitu, ikan-ikan tersebut hidup nyaman dan tenteram. Disamping asupan makanan
yang terjamin ikan-ikan itu tidak tau dunia luar, belum pernah merasakan
luasnya Rowo Jombor dan tidak tau kalau Negara Indonesia mempunyai lautan yang
sangat luas. Setiap habis makan Tombro dan Gurame selalu bersendau gurau,
kejar-kejaran, main petak umpet, main game, pamer handpone, adu argumentasi,
diskusi politik sampai dengan sombongnya membahas alam gaib. Bagai katak dalam
tempurung.
Tombro
yang berhati lembut, lemah gemulai geraknnya dan Gurame yang berhati kasar
dengan senjata tajam disekujur tubuhnya, namun tak pernah terjadi kontak
senjata, karena sejak usia dini telah mengenyam pendidikan budi pekerti luhur. Tak
pernah terprovokasi isu-isu politik, hidup rukun dan dengan hebat sepakat
bersatu untuk meraih kejayaan.
Tiba-tiba
aku terperanjat, melihat Tombro tewas mengenaskan dengan tubuh tercabik-cabik.
Hari berikutnya Gurame juga tewas dengan kulit mengelupas disekujur tubuhnya. Ikan-ikan
yang lain kebingunan, beradu mulut saling menyalahkan, kebijakan yang
berubah-ubah. Aku berpikir, tak mungkin mereka berantem. Mungkin ini hanya
korban kebiadaban pihak luar yang ingin mengadu domba, agar ketenangan terusik, biar pagar tembok itu
rapuh secara perlahan.
Setelah
aku cermati dengan seksama, kutemukan masalahnya. Awal tahun 2015, kolam itu
berganti direktur dan diceburkannya dua ekor ikan Nila betina kedalam kolam.
Walaupun tubuhnya lebih kecil, tetapi ikan Nila tersebut lebih gesit dan mampu
memporakporandakan kehidupan disegala lini. Lidahnya berbisa, taringnya tajam
dan sekujur tubuhnya penuh duri.
Sudah
sebulan lebih tidak ada kebijakan yang pasti. Kesana-kemari mencari solusi,
berpuluh kali mengadakan rapat, beratus kali diskusi, beribu kali adu
argumentasi. Sampai peristiwa itu dirilis belum juga ada hasil, bahkan hanya
memunculkan ide-ide diluar kesadaran.
“Masalahnya
apa tow?” tanya Bento.
“Mutasi
tanpa R7 dan R10,” jelas Caciem.
“Istilah
apaan tu?” tegas Bento.
“Aku
juga nggak tau…tanya ja ma direktur,”
tegas Caciem.
“Siswa
tau nggak?” kejar Bento.
“Nggak
tau…tapi jadi korban,” terang Caciem.
“Kok
siswa jadi korban?,” tanya Bento.
“Karena
jam pelajaran jadi amburadul,” ujar Caciem.
“Kasihan
siswanya,” ungkap Bento.
“Masalah
duit, tak ada yang punya rasa kasihan,” tegas Caciem.
“Em….begitu, Cas cis cus,” geram Bento.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.