21 Agustus 2009

Pabrik Guru dan Kualitas Pendidikan Jawa Tengah

Secara keseluruhan, peringkat Nasional hasil UN Tahun Pelajaran 2007/2008 Provinsi Jawa Tengah jeblok di antara 33 provinsi se- Indonesia. Pada jenjang SMP/MTs (negeri dan swasta), peringkat 5 besar Nasional berturut-turut diduduki oleh provinsi Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara. Pada jenjang ini, provinsi Jawa Tengah berada pada peringkat ke-24 dari 33 provinsi. Sementara pada jenjang SMA/MA (negeri dan swasta), khususnya Program IPA Jawa Tengah berada pada peringkat ke- 13, dan pada jenjang SMA/MA (negeri dan swasta) untuk Program IPS Jawa Tengah menduduki peringkat ke-17 dari 33 provinsi se-Indonesia. (Suara Merdeka, 20 Agustus 2009).

Mencermati artikel yang ditulis Arie Wijayanti, SST, memang membuat pembaca menjadi penasaran, terutama bagi mereka pelaku pendidikan, pemerhati pendidikan dan orang tua siswa. Namun rasa penasaran itu bila kita urai benang yang kusut, tentunya harus dicari akar masalahnya. Sepintas yang biasa dikambinghitamkan adakah pendidik atau guru, tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini yang perlu disoroti adalah pabrik guru alias perguruan tinggi pencetak guru.

Metode Pembelajaran
Di suatu SMP negeri ada 4 Sarjana pendidikan lulusan Tahun 2005, semuanya tidak menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sementara siswanya 100% terampil mengoperasikan TIK. Guru tersebut lebih suka memberi tugas mencatat dan mengerjakan soal-soal, sehingga membuat siswanya bosan, ngantuk dan tak mendapatkan pengalaman apapun dalam belajar. Suasana di dalam kelas yang demikan sudah pasti guru tak bisa memotivasi siswa untuk belajar yang baik.

Budaya menulis dan membaca dikalangan guru sangat rendah, berdasarkan pengamatan bahwa di suatu SMP negeri ada 42 guru, dan yang suka menulis dan membaca hanya satu guru. Namun ketika berada didepan kelas guru-guru tersebut lebih suka berbicara. Apa yang dibicarakan, tentunya pembicaraan yang ngalor-ngidul dan menyimpang dari pelajaran. Guru mengajar sambil membaca buku, dalam hal ini siswa akan menilai bahwa gurunya tidak siap mengajar. Sikap guru yang demikian ini menjadikan guru tidak wibawa di mata siswanya sekaligus siswanya tak akan memperhatikan pelajaran karena metode pembelajaran tidak menarik.

Kualitas Kejujuran Rendah
Kecurangan pelaksanaan UN/UNAS terjadi di beberapa lembaga pendidikan, dan pelaku kecurangan dipelopori oleh oknum kepala sekolah dan oknum guru. Beberapa bulan yang lalu telah terungkap ratusan pendidik memalsukan Ijazah dan SK untuk syarat naik pangkat. Gong sertifikasi pendidik telah di tabuh, ber-ramai-ramai guru memalsukan dokumen fortofolio. Tak punya rasa malu, guru bersetifikat profesional memanipulasi data beban kerja tatap muka. Mengajar 12 jam tatap muka per-minggu, tetapi dilaporkan ke instansi yang lebih tinggi 24 jam tatap muka per-minggu, dengan harapan tunjangan guru profesional tidak di pending. Sekolahan tidak hanya tempat mengajar dan mendidik tetapi sebagai lahan bisnis yang menggiurkan.

Pabrik Guru
Fenomena itu benar-benar terjadi di suatu sekolah, artinya walau hanya salah satu SMP negeri yang menjadi contoh pengamatan, tentunya bisa menjadi gambaran lembaga-lembaga pendidikan di Jawa Tengah. Begitu naifkah lembaga-lembaga pendidikan di Jawa Tengah yang kini sedang menjadi tren sebagai kota vokasi.

Guru lulusan 2005 tidak menguasai TIK, guru mengajar dengan metode jaman dulu (jadul), guru mengajar dengan membaca buku, guru curang, guru pemalsu SK, guru hanya suka berbicara, guru tidak bisa menulis sudah biasa di berbagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini yang perlu di garis bawahi adalah sumbernya, dari mana guru tersebut di produksi.

Kualitas pendidikan yang rendah tidak semata-mata guru jelek dalam mengajar, tetapi yang ikut bertanggungjawab adalah perguruan tinggi produsen guru. Menurut Budi Santoso WS, ada sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) DIY yang terindikasi melakukan praktik penerbitan ijazah palsu. Bahkan tidak hanya di DIY tetapi PTS yang tersebar diseluruh Indonesia. Ada sejumlah PTS diluar DIY yang meluluskan mahasiswanya dengan waktu yang sangat singkat. Sehingga, mahasiswa ini bisa dikategorikan menerima ijazah aspal (asli tapi palsu). Ijazah aspal ini banyak dicari bagi mereka yang sudah bekerja di instansi tertentu. Kebanyakan mereka sudah pernah kuliah, tetapi belum sarjana. Jadi mereka mengikuti kuliah penyetaraan dari jenjang D1/D2/D3 ke jenjang S1/D4, atau mereka sudah sarjana program ilmu Non Kependidikan kemudian mengambil program Ilmu Kependidikan untuk mendapatkan Akta IV sebagai syarat mengajar atau untuk menjadi guru.

Kenyataan dunia pendidikan seperti inilah, maka pemerintah perlu sesegera mungkin untuk melakukan tindakan nyata, yaitu menertibkan perguruan tinggi produsen guru. Sementara masyarakat yang ingin kuliah di jalur pendidikan harus bisa memilih mana perguruan tinggi yang berkualitas.

Penulis Asim Sulistyo
Pemerhati Pendidikan dan Masalah Sosial
Tinggal di Krakitan, Bayat, Klaten

2 komentar:

  1. Setuju Mas, memang rasanya pemerintah kurang optimal dalam upaya membenahi sarana dan mutu pendidikan di negeri ini. Masyarakat juga harus terus menerus mengkritisi kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga kontrol masyarakat semakin bekerja, demi mengawal proses kemajuan bangsa.
    Trim & salam kenal!

    BalasHapus
  2. ga cuma guru, dosen PTN aja ada yang kayak gitu,,, sangat memprihatinkan yahh,,,

    BalasHapus

Komentarlah sebagai tanda persahabatan.

 

Buku Murah

Masukkan Code ini K1-BE118B-2 untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Recent Post