Tak
pernah kubayangkan, Suwito temanku SD setiap hari selalu menyanyi sambil
memukul-mukul meja, sekarang menjadi tukang kayu. Warijo tetanggaku yang sering
menghina pribadiku, sekarang menjadi pedagang es. Wanuri temanku di SMP yang sering
kentut, sekarang menjadi tukang parkir. Topo Sudarno teman ngaritku (mencari
rumput) yang suka mabuk, sekarang menjadi pengangguran. Poniran temanku SD yang
suka main mobil-mobilan, sekarang menjadi sopir toko bangunan. Giyoto temanku
SMP yang suka mencoret-coret meja, sekarang menjadi kuli bangunan. Kusnadi
temanku SMP yang suka pamer harta, sekarang menjadi pedagang asongan. Sambodo
temanku SD yang suka pacaran, sekarang menjadi seles permen. Saiman temanku SD
yang suka memukul kepalaku dengan penggaris kayu, sekarang menjadi tukang kayu.
Sumatno temenku SD yang suka mencontek, sekarang menjadi buronan polisi.
Prasetyo Cahyo Nugroho temanku SMP yang rajin belajar dan beribadah, sekarang
menjadi kepala sekolah di salah satu SMP Negeri di Kudus.
Aku
sendiri sewaktu sekolah sangat benci profesi guru. Tak pernah ada dalam
angan-anganku untuk bercita-cita menjadi pendidik. Setiap hari melihat,
mendengar dan merasakan bahwa profesi guru sangat berat. Aku takut berhadapan
dengan orang banyak, apalagi harus bicara mempengaruhi siswa agar mau
memperhatikan. Banyak guru disakiti siswanya karena galak, banyak guru dibenci
siswanya karena nilainya mahal, banyak guru dihina siswanya karena sombong,
banyak guru ditakuti siswanya karena angker, banyak guru ditinggal pergi
siswanya karena menyebalkan, banyak guru tidak diperhatikan siswanya karena
cara mengajarnya membosankan, banyak siswa mendo’akan gurunya agar sakit,
banyak siswa mendo’kan gurunya agar tabrakan dan banyak siswa mendoakan gurunya
agar cepat mati.
Tetapi
Tuhan berhendak lain. Profesi yang sangat aku benci justru sekarang menjadi
pekerjaan utamaku. Walaupun terpaksa, aku berusaha profesi ini aku nikmati dan
aku laksanakan dengan sebaik-bainya. Sekarang bukan hanya sekedar guru biasa,
tetapi aku bergelar guru professional, walaupun sejatinya masih amatir.
Awalnya
berhadapan dengan siswa aku sangat grogi, bingung, sering salah ucap, salah
tingkah, gemetaran, gembrobyos. Apalagi siswa mentertawakan diriku, mendidih
darahku, emosi tak terkendali, 143 siswa kutendang kakinya, 21 siswa kujambak
rambutnya, 12 siswa kutempeleng mukanya, 210 siswa kubentak-bentak, 23 siswa
kucaci-maki, 17 siswa kuusir dari kelas, 11 siswa kulempar batu, 4 siswa
kulempar kursi, 2 siswa kulempar meja, 1 siswa menangis karena kubentak-bentak,
7 siswi menangis karena kucaci-maki dan aku sendiri 7 kali dibentak-bentak
kepala sekolahku.
“Itu
kau lakukan kapan?” Tanya Bento penasaran.
“Sejak
1997 sampai awal 2015,” jawab Caciem.
“Kenapa
kau lakukan itu?” Tanya Bento.
“Aku
hanya meniru guru-guruku dulu,” terang Caciem.
“Sekarang
masih sering begitu?” kejar Bento.
“Sudah
mulai berkurang,” terang Caciem.
“Kok
bisa berubah?” kejar Bento.
“Aku
takut dibunuh muridku yang dendam,” jelas Caciem.
“Murid
kok dendam?” ungkap Bento.
“Murid
Cas cis cus…,” gerutu Caciem.
Semoga tetap semangat para pendidik di seluruh Nusantara...
BalasHapus