Seandainyasebelum aku lahir, Tuhan menawari diriku pengin dilahirkan sebagai anaknya
siapa, pasti aku tidak miskin, tidak hitam kulitku, tidak keriting rambutku,
tidak jelek mukaku, tidak bocor rumahku, tidak bau kamar mandiku, tidak kumal
bajuku, tidak di kampung rumahku, tidak kosong sakuku, tidak jadul hand
pone-ku, tidak kurus badanku, tidak tepos sepatuku, tidak prothol sepedaku,
tidak sedih hatiku, tidak jeblok nilai raportku, tidak dimarah-marah guruku,
tidak diusir dari kelas oleh guruku, tidak disuruh pulang ambil buku oleh
guruku, tidak dihukum lari oleh guruku dan tidak disuruh potong rambut oleh
guruku. Karena aku memilih dilahirkan sebagai anaknya seorang presiden.
Namun
keberadaan ini adalah suatu takdir yang tidak bisa ditolak. Kelahiranku
hanyalah sebagian kecil dari suatu budaya yang berkembang di suatu tempat.
Apapun yang terjadi harus kita terima dengan ikhlas. Tak perlu menghujat orang
tua apalagi melawan takdir. Walaupun
manusia diberi akal yang lebih di banding binatang, manusia perlu belajar
dengan insting binatang yang bisa menerima apa adanya, karena manusia tidak
mengerti apabila ada binatang yang
protes terhadap Tuhannya.
Akubisa menerima keadaan dengan apa adanya, tetapi keberadaanku selalu jadi bahan
hinaan oleh guru-guruku. Setiap ketemu selalu memanggilku “JELITENG” karena
kulitku hitam, guruku memanggilku “MONYET” karena wajahku jelek, guruku
memanggilku “KEREMPENG” karena tubuhku kurus, guruku memanggilku “CEREWET”
karena aku banyak omong, guruku memanggilku “BODOH” karena otakku bebal, guruku
memanggilku “MERONGOS” karena gigiku agak panjang, guruku memanggilku “NEGRO”
karena rambutku keriting dan kulitku hitam, guruku memanggilku “CEKO” karena
tanganku tidak normal, guruku memanggilku “PETHUK” karena aku tidak bisa
berhitung, guruku memanggilku “LEMPUNG” karena aku tukang ngantuk, guruku
memanggilku “GEMBROT” karena tubuhku gemuk, guruku memanggilku “ENTHUNG” karena
aku malas berpikir, guruku memanggilku “MALING” karena aku suka mencontek,
guruku memanggilku “IBLIS” karena aku suka mengganggu teman, guruku memanggilku
“KERE” karena orang tuaku miskin, guruku memanggilku “ASU” karena aku sering
cekcok, guruku memanggilku “BAJINGAN” karena aku sering bikin gaduh di kelas.
Menurutku,tidak ada manusia yang sempurna. Diantara kita pasti ada kelemahan dan
kelebihan yang tersembunyi. Seandainya aku nanti penjahat, dia akan aku bunuh
secara sadis. Seandainya aku nanti jadi polisi, dia akan aku tembak kepalanya,
seandainya aku nanti jadi jagal, dia akan aku cincang seperti kambing guling.
Seandainya aku nanti jadi uztad, dia akan aku ajak mengaji. Seandainya aku
nanti jadi guru, dia akan aku ajari bicara yang sopan dan santun.
“Emangnya
dia tu guru apaan?”, tanya Caciem dengan keheranannya. “Semua guru”, jawab Bento
singkat. “Masak semua guru kayak gitu?”, tegas Caciem. “Semua guru kalau sedang
marah pasti begitu”, jawab Bento. “Kenapa gurumu marah?”, kejar Caciem. “Karena
guruku berlagak penguasa”, terang Bento.
“Berarti
gurumu itu mengajar tanpa skenario yang baik”, ujar Caciem.
“Bukan
begitu, tapi guruku mengajar tanpa perasaan”, jelas Bento.
“Ya…Sabar ja, tak perlu tersinggung”, saran Caciem.
“Cas cis cus… cas cis
cus”, gerutu Bento.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.