Tahun 1984 ketika penulis masih sekolah di SLTP, salah satu guruku mengungkapkan “Besuk tahun 2000, manusia mengalami evolusi proporsi tubuh, yaitu : badan kecil, kaki kecil, jari tangan besar dan kepalanya juga besar”.
Peryataan guru tersebut ternyata tidak benar, sebab di pertengahan tahun 2009 tidak ditemukan evolusi proporsi tubuh manusia sebagaimana yang diungkapkan guruku di tahun 1984. Proporsi tubuh manusia di tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan proporsi tubuh manusia di tahun 1984. Mungkin teori evolusi-ya
Pada tahun 1984 bangsa
Apanya yang besar…?
Pernyataan guruku bahwa yang besar jari-jari tangan dan kepalanya, tetapi kenyataannya di tahun 2009 ini yang besar mulut dan sombongnya. Menurut Direktur Centre for Education Studies (CES) Jawa Tengah Hery Nugroho, bahwa budaya menulis di kalangan guru sangat minim, yaitu hanya 10% yang bisa menulis. Guru lebih senang berbicara daripada menulis. Namun tak sepenuhnya kesalahan guru, perguruan tinggi yang menghasilkan guru juga punya andil. Budaya menulis di waktu kuliah kurang berkembang dan dosenya-pun belum tentu bisa menulis (Suara Merdeka, 30 Juni 2009).
Guru lebih senang berbicara, disetiap pertemuan dengan siswa selalu berbicara atau berceramah sehingga siswanya menjadi bosan, ngantuk, dan tak mendapatkan pengalaman yang signifikan. Dalam kesempatan ini di benak siswa berkata “Guru besar mulutnya”. Sepanjang waktu pelajaran siswa disuruh mencatat, padahal materi yang dicatat bukan buku tulisan gurunya tetapi buku tulisan orang lain. Kemudian guru menerangkan isi buku tersebut, seakan-akan dirinya paling pintar, paling cerdas dan paling tahu. Dalam hal ini siswa berkata “Guruku Sombong”.
Guru atau pendidik yang tak bisa bepacu dengan perkembangan teknologi dipastikan akan mengalami masalah. Guru bisa kalah dengan siswanya yang aktif meng-apdate pengetahuannya. Ini membuat para guru kehilangan kharisma dan wibawanya. Contoh seorang guru di Tiongkok tahun 2005 bunuh diri karena pengetahuannya kalah dengan siswanya yang didapat dari internet. Contoh lagi di Jerman seorang guru mengundurkan diri dari profesinya karena siswanya lebih pintar dalam mengakses internet pada saat jam istirahat (Ardhie Raditya, Suara Merdeka, 6 Juli 2009).
Malas membaca dan tidak bisa menulis adalah budaya guru
Kembali ke tahun 1984, bahwa metode pembelajaran yang digunakan guru-guru di tahun 1984 lebih baik dibanding metode pembelajaran di tahun 2009. Tahun 1984 belum banyak buku, sehingga guruku memutar otak untuk membuat buku walau hanya dengan tulisan tangan. Pembelajaran secara aktual dan siswa lebih senang karena selalu diberi tugas praktik untuk mengerjakan lembar kerja. Guru tidak banyak berbicara, karena guru sebagai
Apabila semua guru
Penulis Asim Sulistyo, S.Pd.
Pemerhati Pendidikan
Tinggal di Krakitan, Bayat, Klaten
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.