Lagu lama selalu dilantunkan oleh pejabat yang terkait dengan dunia pendidikan. Terdengar merdu dan sekali-kali sangat nyaring hingga membuat masyarakat terpesona bahkan terbuai mimpi-mimpi indah.
Tak lupa setiap tahun ajaran baru, beliau mengarang lagu dengan berbagai judul antara lain : Sekolah gratis, sekolah bebas dari pungutan, siswa miskin mempunyai hak yang sama dengan siswa kaya, guru tidak boleh menjual buku, sekolah tidak boleh menjual seragam dan judul-judul lagu lainnya.
Berbagai jenis media masa sebagai alat yang paling komunikatif untuk mempublikasikan judul-judul lagu melankolis tersebut. Tanpa disadari bahwa semua lapisan masyarakat sudah mampu mendengar, melihat dan membaca. Setelah memahami, merasakan dan mengalami, ternyata masyarakat hanya di buai mimpi-mimpi indah dan tak pernah terbukti apa yang nyanyikan beliau.
Pihak sekolah (Kepala sekolah CS) mempunyai pandangan dan kebijakan yang berbeda. Dengan alasan untuk meningkatan kualitas pendidikan, pihak sekolah melakukan hal yang bertentangan dengan siulan-siulan pejabat. Tanpa basa-basi pihak sekolah melakukan penjualan seragam, buku, pungutan untuk bangunan dan lain sebagainya. Ironisnya, harga seragam bisa lebih mahal dibandingkan kalau beli sendiri di toko. Walau pemerintah telah menyediakan buku gratis dalam program BSE (Buku Sekolah Elektronik), namun pihak sekolah tanpa perasaan memaksa siswanya untuk membeli buku selain BSE.
Social Democracy Is Dead
Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Bidang Keuangan bahwa (c) Pedoman pengelolaan biaya investasi …diputuskan oleh komite sekolah dan ditetapkan kepala sekolah serta mendapatkan persetujun dari institusi di atasnya. Namun yang terjadi disekolah bahwa komite dan masyarakat tidak pernah tahu karena tidak pernah diajak musyawarah dalam menentukan kebijakan tersebut.
Secara mendadak siswa diberi selebaran berisi daftar nama barang yang harus dibeli beserta besaran harganya yang harus dibayar. Tanpa kompromi dan tidak mungkin ditawar-tawar lagi, orang tua kebingungan menyediakan dana dalam waktu yang sangat singkat, sementara anak ketakutan kalau tidak boleh sekolah hanya karena belum bisa membayar. Terbukti di kabupaten Klaten tahun ajaran 2010-2011 ada 2 siswa urung sekolah hanya karena tak mampu membayar uang seragam. Dini Pasopati 12 tahun dan kakaknya Hasan 15 tahun warga Wedi, Klaten, Jawa-Tengah lebih memilih bekerja serabutan, (Suara Merdeka 24 Juli 2010).
Institusi yang mestinya menjadi dasar pembelajaran pendidikan berdemokrasi, namun kenyatannya demokrasi tak pernah di implementasikan. Musyawarah tak lagi diadakan, demokrasi telah dimatikan. Inikah dunia pendidikan kita…?
Penulis Asim Sulistyo.
Waduuhhh...jgn nakut-nakutin dong.
BalasHapusI think .. It isn't dead YET..! he he he..!
Salam Pendidikan
yupz... setuju kang...
BalasHapusmunkin masih perlu diberi bimbingan lagi kali hehehe...
selamat berpuasa kang...
Ini tergantung kepada masyarakat dan rakyat kita sendiri...., contohnya Jerman rakyatnya yang menginginkan pendidikan gratis... dan bisa :)
BalasHapussalam sahabat
BalasHapussemoga tidak menjadikan vacum learning saja..semangat ya.maaf telat
Kunjungan balik sob.
BalasHapusSalam perkenalan ya.
Setuju gan ma artikelnya, tp biar bgaimanapun, semangat blajar jgn sampai mati...
BalasHapuswah.. kalo bner2 dead jadi apa bangsa kita
BalasHapusBiar Social Democracy Is Dead, Marketing Online tetep aja jalan...!
BalasHapus