18 September 2011

Siswa Gagap Berbahasa Indonesia


Dialog antara guru dan siswa
Guru bertanya kepada muridnya “Berapa saudaramu ?”, siswa menjawab dengan gagap “Setunggal pak”. Guru bertanya lagi “Apa pekerjaan ayahmu ?” siswa mejawab “Sadean bakso pak”. Guru bertanya lagi “Dimana jualannya ?”, dijawab siswa dengan lugas “Teng Jakarta”.

Di suatu pertemuan antara guru dan muridnya, terjadilah dialog dengan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Siswa bertanya kepada guru “Menopo pak guru besuk libur ?”, guru menjawab “Tidak”. Siswa bertanya lagi “Benjang kapan ada ulangan harian pak”, dijawab guru dengan tegas “Sesuk Senin ngarep”.

Ketika ada ulangan semester, guru atau pengawas ulangan bertanya kepada siswanya “Wis rampung cah”, kemudian siswa menjawab “Dereng Pak”. Guru memberikan saran kepada siswanya “nek wis rampung, lembar jawab di kumpul yo cah”, lalu siswa menjawab “Nggih Pak”.

Bahasa Ibu
Dalam suatu dialog antara guru dan siswa di sekolahan kebanyakan menggunakan bahasa campuran. Kadang berbahasa Indonesia terkadang berbahasa daerah, tetapi lebih banyak berbahasa daerah atau bahasa ibu. Untuk daerah kabupaten Klaten tentu lebih banyak menggunakan bahasa ibu atau bahasa Jawa.

Fenomena dialog antara guru dan muridnya seperti tersebut di atas banyak ditemui di sekolah-sekolah pinggiran atau sekolah pedesaan. Bahasa jawa kromo, jawa kromo inggil bahkan jawa ngoko menjadi bahasa komunikasi yang paling banyak dipergunakan oleh guru dan siswa untuk semua mata pelajaran. Hampir semua guru dan siswa pada jenjang sekolah SD, SMP maupun SMA tak segan-segan berkomunikasi dengan bahasa Ibu. Yang lebih memalukan, guru Bahasa Indonesia berkomunikasi dengan Bahasa Jawa tanpa punya rasa bersalah.

Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Selain itu, Salah satu ikrar “Sumpah Pemuda” adalah kita wajib menjunjung tinggi Bahasa Nasional yaitu Bahasa Indonesia. Dengan demikian di setiap pertemuan resmi, baik di kantor-kantor pemerintahan sampai pada sekolah-sekolah mulai dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi, baik sekolah di perkotaan hingga sekolah-sekolah pelosok di seluruh Indonesia.

Kembali pada sekolah, bahwa semua Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) harus berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia kecuali mata pelajaran bahasa asing dan bahasa daerah. Pembiasaan dengan Bahasa Indonesia tentu sangat menguntungkan bagi semua pihak. Siswa harus dibiasakan dengan bahasa nasional agar tidak gagap ketika diajak berkomunikasi atau memahami isi bacaan dengan Bahasa Indonesia, walau berbahasa daerah itu juga dianggap penting.

Lemahnya berkomunikasai dengan Bahasa Indonesia, bisa berakibat buruk pada diri siswa, karena hampir semua mata pelajaran disekolah menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, siswa kesulitan memahami kalimat-kalimat berbahasa Indonesia. Siswa diberikan tugas untuk membaca dan memahami isi bacaan sebuah buku, selanjutnya siswa disuruh menjelaskan isi bacaan secara singkat. Yang terjadi, siswa tidak mampu memahami isi bacaan dengan baik. Dalam menghadapi pertanyaan-pertanyan dalam lembar soal, banyak siswa yang keliru memahami isi kalimat soal. Sehingga, siswa dipastikan salah dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang juga Direktur Program Pascasarjana UNY Prof. Djemari Mardapi, PhD mengemukakan bahwa berdasarkan survei, kemampuan baca dan memahami isi bacaan, siswa Indonesia tergolong rendah. Karena itu, siswa Indonesia menduduki urutan ke-26 dari 27 negara yang disurvei (Suara Merdeka, 2 April 2008).

Dengan demikian, perlu di semua elemen baik lingkungan kantor, sekolah dan masyarakat wajib menjunjung tinggi Bahasa Nasional. Guru harus bisa memberikan contoh tauladan kepada muridnya, bagaimana menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Janganlah guru memberi contoh berkomunikasi dengan bahasa daerah didepan siswanya. Kalau guru berdialog berbahasa Indonesia dengan siswanya, maka siswa juga harus berbahasa Indonesia.

Namun harapan perubahan ini sangatlah berat, karena bahasa Ibu sudah terlanjur menjadi bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan sekolah. Harapan tinggal kenangan, merubah lidah guru tak semudah membalikan tangan. Ikrar “Sumpah Pemuda” tak lagi menjadi kewajiban bangsa Indonesia melainkan sebuah janji yang telah lama dilupakan.
Penulis Asim Sulistyo
Pemerhati Pendidikan dan Masalah Sosial
Tinggal di Krakitan, Bayat, Klaten

2 komentar:

  1. Menurut saya harus ada keseimbangan dalam hal penggunaan bahasa daerah, bahasa nasional dan juga bahasa asing (bila memungkinkan). Karena biar bagaimanapun bahasa daerah harus tetap digunakan dan dikembangkan di sekolah, karena bahasa daerah merupakan identitas pemakainya. Jangan sampai bahasa daerah kehilangan gengsi-nya bagai penuturnya...sehingga akan tetap lestari di terwariskan sepenuhnya pada generasi berikutnya...jangan sanpai punah, karena bagian dari identitas budaya.
    Demikian juga untuk bahasa nasional, memang harus terus dikembangkan dan menjadi identitas secara nasional, yang akan mempersatukan kita semua...
    Kemudian bahasa asing, kita pelajari untuk memudahkan kita belajar dan mengejar ketertinggalan kita akan ilmu pengetahuan...karena tehnologi dan kemajuan ilmu pengetahuan banyak yang berasal dari negara lain yang lebih maju, sehingga kita perlu untuk mempelajari bahasa mereka demi mengejar ketertinggalan kita...
    Mungkin pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengembangkan penterjemahan buku-buku asing tentang ilmu pengetahuan baru, dan dibagikan secara gratis ke perpustakaan sekolah dan umum, sehingga akselerasi kemajuan kapasitas generasi kita semakin cepat...rasanya kita telah tertinggal ratusan tahun dibanding negara-negara maju....
    Thanks, and have a great month and enjoy these fasting days!

    BalasHapus
  2. sobat, infonya bagus banget nich, kunjungi blog saya jg y :) di http://www.cara-blog.co.cc

    BalasHapus

Komentarlah sebagai tanda persahabatan.

 

Buku Murah

Masukkan Code ini K1-BE118B-2 untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Recent Post