01 Maret 2009

Perkelaian Pelajar, Kekerasan di Sekolah.



Perkelaian Pelajar, Kekerasan di Sekolah. 

Aksi guru di depan kelas dengan memukulkan penghapus kayu di papan tulis hingga siswa kaget, memukulkan penggaris kayu di meja hingga hancur berkepin-keping, mendobrak meja siswa hingga siswa seluruh kelas terperanjat, membentak siswa dengan kata-kata kasar, mebenturkan pintu kelas, memukul siswa dengan buku, menempeleng muka siswa, mengusir siswa keluar kelas, menghukum siswa dengan hukuman phisik, dan menghina keadaan siswa baik hinaan phisisk maupun non phisik.

Di bulan pebruari 2009, telah beredar video kekerasan pelajar di 3 daerah yaitu perkelaian siswa SMP di Jawa-Barat, perkelaian dua siswa SLTA di Gorontalo dan yang terakhir perkelaian 2 siswi di Timika Papua yang difasilitasi oleh gurunya. Namun kita tentu masih ingat perkelaian siswi-siswi SLTA di Pati yang terkenal dengan nama Geng Nero.

Apa ada yang salah, Kurikulun Pendidikan Nasional…?
Sekolah mestinya tempat belajar, berteman, bermain, mengembangkan kreativitas dan untuk mamahami jati diri. Tuntutan orang tua agar anaknya selalu juara kelas, tuntutan gurunya agar semua siswanya menjadi penurut dan bernilai bagus, tuntutan kepala sekolah agar siswanya lulus 100%. Disekolah tak ubahnya seperti kamp penampungan sandra, siswa di paksa menuruti kehendak guru, beban pelajaran yang terlalu banyak dan berat serta system pembelajaran yang otoriter dan represif. 

Kondisi ekonomi Negara yang morat-marit, memicu orang tua siswa untuk kerja keras dan dalam rangka emansipasi bagi seorang ibu, menjadikan orang tua siswa menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada pihak sekolah. Seakan yang menentukan watak dan sikap adalah sekolah. Siswa disekolah hanya beberapa jam, sementara orang tua dirumah jarang ketemu anaknya. Rumah tak terlalu beda dengan halte bus, tempat bertemu dan bercengkrama sementara antara bapak, ibu dan anaknya. 

Tak dipungkiri bahwa kemajauan teknologi informasi seperti HP, TV, Internet dan media masa lainnya sangat mempengaruhi perubahan watak pelajar. Pelajar metropolitan dan pelajar daerah terpencil tak ada bedanya. Kecepatan media informasi begitu mudah menyebar ke segala lapisan masyarakat, dan tingkat kemampuan filter sangat beragam. Hal ini menjadikan hasil terjemahan informasi yang berbeda-beda. Orang tua yang mestinya membantu menterjemahkan informasi, malahan orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada anaknya sendiri atau kepada pembantunya. 

Menurut Prof. Kurt Singer dari Universitas Munchen Jerman, fenomena ini sebagai “Sekolah Sakit”. Sekolah sebagai alat sensor, guru selalu mengawasi dengan tanpa batas etika-psikologis, perintah sekolah menjadi dictator dan mematikan bakat, sekolah menjadi pengadilan yang penuh hukuman, sehingga siswa menjadi ketakutan dan penuh ancaman. fenomena ini disebut Kurt Singer sebagai Schwarzer Paedagogik atau Pedagogi Hitam (Sindhunata, 2001).
(Suara Merdeka, 19 Juni 2008).

Guru yang belum bisa menikmati kesejahteraannya sebagai guru, namun beban kerja sangat berat. Guru yang mendapat tugas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membentuk watak, mengajari membaca, mengajari berpikir, melatih kreativitas, namun belum mendapatkan penghargaan layak secara materi. Bahkan guru yang masih honor, penghasilannya sangat jauh di banding upah UMR buruh pabrik. Gaji yang sangat kecil, masih ada potongan-potongan yang tidak jelas peruntukannya. Penghargaan yang lebih mulia bagi guru adalah gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, tetapi penghargaan ini tidak membuat perut guru dan keluarganya menjadi kenyang.

Penulis : Asim Sulistyo
Pemerhati Pendidikan dan Sosial
Tinggal di Krakitan, Bayat, Klaten



0 komentar:

Posting Komentar

Komentarlah sebagai tanda persahabatan.

 

Buku Murah

Masukkan Code ini K1-BE118B-2 untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Recent Post